Diantara sebab kerasnya sebagian saudara kita yang men-tahdzîr secara membabi buta adalah, mereka mengambil manhaj mereka (maksud saya bukan dalam hal aqidah dan fikih, tapi dalam hal tahdzîr men-tahdzîr dan tabdî’ men-tabdî’) hanya dari segelintir masyayikh yang sesuai dengan selera mereka, dan meninggalkan manhaj para ulama Kibâr (senior) seperti Syaikh Bin Bâz, Syaikh Al-‘Utsaimîn, Syaikh Al-Albâni, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbâd, Syaikh Shâlih Al-Fauzân, para anggota Kibâr al-‘Ulamâ’, dan para anggota Al-Lajnah Ad-Dâ`imah.
Diantara para masyayikh yang mereka ambil manhajnya dalam hal ini –bahkan seakan-akan seperti wahyu yang turun dari langit- adalah Syaikh Rabî’ bin Hâdî Al-Madkhalî –semoga Allah meluruskan langkah beliau dan mengembalikan beliau kepada kebenaran-.
Barang siapa –yang mau jujur- dalam mengamati sepak terjang Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî, maka ia akan mendapati bahwa manhaj beliau –khususnya dalam masalah tahdzîr dan tabdî’- sangatlah jauh berbeda dengan manhaj tiga imam dakwah salafîyah zaman ini, yaitu Syaikh Bin Bâz, Syaikh Al-Albânî, dan Syaikh Al-’Utsaimîn rahimahumullâh. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Manhaj ketiga imam tersebut telah diwarisi oleh murid-murid senior mereka yang tersebar di Kerajaan Arab Saudi, dan hingga saat ini saya belum menemukan murid-murid senior mereka yang bermanhaj seperti manhaj Syaikh Rabî’.
Manhaj Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî Yang Mutasyaddid (keras)
Syaikh Rabî’ adalah manusia biasa yang tidak ma’shûm, bisa salah dan bisa benar. Beliau dikritisi oleh para ulama dalam beberapa hal, terutama tentang sikap beliau yang terlampau keras di dalam membantah. Diantara ulama yang mengkritik beliau adalah Syaikh Al-Albânî rahimahullâh.
Berikut ini adalah dialog antara Syaikh Al-Albânî dengan seseorang yang bersikeras membela Syaikh Rabî’ dan menolak anggapan bahwa syaikh Rabî’ adalah mutasyaddid. Akan tetapi, Syaikh Al-Albânî ternyata bersikeras menyatakan bahwa Syaikh Rabî’ mutasyaddid. Silahkan baca dialog tersebut secara lengkap agar lebih jelas.
السائل : فنحن نريد نرى الشدة أين هي؟
Penanya : “Kami ingin melihat letak sikap kerasnya Syaikh Rabî’ ada dimana??”
الشيخ: في كل كتبه الشدة موجودة
Syaikh Al-Albânî : “Di semua kitabnya (Syaikh Rabî’) ada sikap syiddah (keras) !!”
السائل: عندكم “أضواء إسلامية”؟
Penanya : “Apakah Anda punya buku Adhwâ` Islamiyah?” (buku bantahan Syaikh Rabî’ terhadap pemikiran Sayyid Quthb-pen)
الشيخ –يقرأ من الكتاب-: الآن هنا يقول: “فهذا يبيِّن إصرار سيد قطب على الطعن في أصحاب رسول الله، وإصراره على الاشتراكية الغالية التي قررها في هذا الكتاب، وإصراره على رمي المجتمعات الإسلامية كلها بأنها مجتمعات جاهليَّة –أي: كافرة-“. هذا مش شدة؟
Syaikh Al-Albânî (sembari membaca buku tersebut) : “Sekarang coba Anda perhatikan, di sini beliau (Syaikh Rabî’) mengatakan : “Maka hal ini menjelaskan bagaimana ngeyel-nya Sayyid Quthb di dalam mencela para sahabat Rasulullah dan ideologi sosialisme materialistis yang dia tetapkan di bukunya ini. Juga bersikerasnya Sayyid Quthb ketika menuduh bahwa seluruh masyarakat Islami adalah masyarakat jahiliyah, yaitu masyarakat yang kafir.”
Bukankah ini termasuk sikap keras?(maksud Syaikh Al-Albânî adalah sikap Syaikh Rabî’ yang menafsirkan perkataan Sayyid Quthb “Jahiliyah” dengan “kafiroh”-pen)
السائل: وين الشدة! أين هي؟
Penanya : “Yang mana sikap kerasnya? Mana?”
الشيخ: “أي: كافرة
Syaikh : “Yaitu (penafsiran Syaikh Rabî’ sebagai masyarakat) kafir.”
السائل: ما قال الجاهلية، ما قال..
Penanya : “Ia (Sayyid Quthb) tidak berkata jahiliyah, ia tidak berkata demikian…”
الشيخ: يا أخي! لا تكرر الكلام الله يرضى عليك، خلينا في اللفظة التي نحن نتباحث فيها الآن.
أنت تعرف في الحديث الصحيح: “إن فيك جاهلية” هل هذا معناه أن هو كافر؟
Syaikh : “Ya akhî…, jangan mengulang-ulang pembahasan -semoga Allah meridhoimu-. Jangan kita keluar dari lafal yang sedang kita bicarakan sekarang. Engkau tahu dalam hadits yang shahih “Sesungguhnya pada dirimu ada jahiliyah”, apakah maknanya di sini ia adalah orang kafir??”
السائل: لا.
Penanya : “Tidak”
الشيخ: طيب، فإذا السيد قطب وصف مجتمعه بأنه مجتمعه مجتمع جاهلي، من أين لنا أن نفسِّر وأن ننسب إليه أنه يكفِّر هذا المجتمع؟
Syaikh : “Baiklah, apabila Sayyid Quthb menyifatkan masyarakatnya dengan masyarakat jahiliyah, lantas dari mana kita bisa menafsirkan dan menisbahkan kepada Sayyid Quthb bahwasanya ia telah mengkafirkan masyarakat ini??”
السائل: حينما قال: هؤلاء المؤذنون الذين يقولون لا إله إلا الله…
Penanya : “Yaitu tatkala Sayyid Quthb berkata : Mereka para muadzdzin yang mengatakan Lâ Ilâha illallâh…”
الشيخ: نحن هنا الآن، لا تجيب لي من بره –يا أخي-، نحن نناقش العبارة التي بيننا، ولكل عبارة ملاحظتنا فيها ونقاشنا فيها.. إلخ. أنا أقول الآن: المجتمع جاهلي؛ يقال: أي: كافر. نحن نقول: (أي: كافر) هل هذا لين؟
Syaikh : “Kita sekarang di sini, jangan kau bawa-bawa perkataan dari luar ya akhî… kita sekarang sedang berdiskusi tentang perkataan yang ada di depan kita. Setiap ucapan tersebut, perhatian dan diskusi kita ada di dalamnya… dst. Saya katakan sekarang : “Masyarakat Jahiliyah” apakah dikatakan “Yaitu masyarakat kafir”?. Apabila kita mengatakan “kafir”, apakah ini sikap yang lembut??”
(Lihat : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=50726)
Syaikh Al-Albânî menilai buku-buku syaikh Rabî’ keras. Bahkan Syaikh Al-Albânî mengkritik sikap keras Syaikh Rabî’ terhadap Sayyid Quthub. Lantas bagaimana sekiranya Syaikh Al-Albânî masih hidup sekarang lalu melihat sikap Syaikh Rabî’ yang sibuk mentahdzîr kepada sesama Ahlus Sunnah??!!!
Diantara sebab yang menjadikan Syaikh Rabî’ –semoga Alloh memberi hidayah-Nya kepadanya- memiliki sikap yang terlampau keras di dalam manhajnya adalah :
PERTAMA : Menurut Syaikh Rabî’, Ahlul Bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen).
Diantara sebab utama yang menjadikan Syaikh Rabî’ dikatakan mutasyaddid adalah, manhaj beliau yang menyatakan bahwa Ahlul Bid’ah harus dibenci secara totalitas. Manhaj beliau yang mudah di dalam membid’ahkan seseorang didukung lagi setelah itu harus dibenci 100 persen, hal inilah yang mengkarateristiki manhaj beliau sehingga menjadi “Mutasyaddid“!!!
Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî ditanya :
هل يجتمع في الرجل المبتدع حب وبغض؟
“Apakah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah), terhimpun padanya kecintaan dan kebencian?”
Syaikh Menjawab :
الحب في الله والبغض في الله من أوثق عرى الإيمان ، ومنها يدخل في هذا الحب المؤمنين المخلصين الصادقين ، لأنك تحبهم في الله عز وجل. ويدخل في البغض : بُغض المنافقين والكافرين ،على مختلَف أصنافهم ، كما يدخل فيه أهل البدع ، لأن لهم نصيبا من مخالفة كتاب الله وسنة الرسول ـ عليه الصلاة والسلام ـ ، كلّ على قدر بدعته ، ولهم نصيب من موافقة الكفّار والمنافقين في هذه المخالفات العقدية والمنهجية فيأخذون نصيبهم من البُغض
“Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah adalah termasuk tali keimanan yang terkuat. Termasuk dalam kecintaan ini, adalah cinta terhadap kaum mukminin yang ikhlas dan tulus, dimana engkau mencintai mereka adalah karena Allah Azza wa Jalla.
Dan masuk dalam kebencian adalah membenci kaum munafik dan kaum kafir dengan segala bentuk mereka yang beraneka ragam. Termasuk pula dalam kebencian ini adalah membenci Ahlul bid’ah, karena mereka punya andil di dalam menyelisihi kitabullah dan sunnah Rasulullah ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm. Masing-masing sesuai dengan kadar bid’ahnya. Mereka (ahlul bid’ah) juga memiliki peran dalam hal menyepakati orang-orang kafir dan munafik dalam hal penyimpangan-penyimpangan aqidah dan manhaj. Maka merekapun mengambil bagian kebencian dari kebencian terhadap orang-orang kafir dan munafik.
وإذا تأملنا كلام السلف، واستقرأنا عموم كتب السنة، فلا نجد هذا التوزيع، توزيع القلب في قضية أهل البدع ، إلى حب من جهة، وبُُغض من جهة، لانجد ذلك، و لا نجد من السلف إلا الحث على بُغضهم وهجرانهم، بل قد حكى عدد من الأئمة الإجماع على بُغضهم وهجرهم ومقاطعتهم ، حكى عدد من الأئمة منهم الإمام البغوي ـ رحمه الله ـ صاحب ” شرح السنة” وصاح ” التفسير” وغيرهما من المؤلفات النافعة ، وهو إمام من أئمة السنة، ولعله يُعَدُّ من المجددين، وكذلك الإمام الصابوني صاحب ” شرح عقيدة السلف أصحاب الحديث” ، وغيره ، حكوا الإجماع على بُغض أهل البدع، وهجرانهم، ومقاطعتهم، هذا الإجماع من الصحابة ومن بعدهم
Jika kita mengamati perkataan para salaf dan kita meneliti buku-buku sunnah, maka kita tidak mendapati adanya pembagian tersebut, yaitu pembagian hati menjadi mencintai dari satu sisi dan membenci dari sisi yang lain pada perkara Ahlul bid’ah. Kita tidak mendapati hal ini! Tidak pula kita dapati para salaf, kecuali mereka memotivasi untuk membenci dan meng-hajr (mengisolir/boikot) ahlul bid’ah. Bahkan sejumlah imam telah menyampaikan adanya ijmâ’ (kesepakatan) di dalam membenci ahlul bid’ah, meng-hajr dan memboikot mereka.
Beberapa imam, diantaranya adalah Al-Imam Al-Baghowî, penulis Syarhus Sunnah dan Tafsir (Al-Baghowî) serta kitab-kitab lain yang bermanfaat. Beliau adalah salah satu dari para pemimpin sunnah (a`immatus sunnah) dan besar kemungkinan beliau termasuk para pembaharu (mujaddidîn). Demikian juga dengan Imam Ash-Shôbûnî, penulis kitab Syarh ‘Aqîdatis Salaf Ashhâbil Hadîts, serta ulama lainnya, mereka menghikayatkan adanya ijmâ’ (kesepakatan) di dalam membenci ahlul bid’ah, meng-hajr dan memboikot mereka. Ijmâ’ dari kalangan para sahabat dan orang-orang setelah mereka..
وأظن أنه ما يستطيع إنسان أن يجمع بين الحب والبُغض ، ويوزعهما ويقسمهما قسمين، البغض على قدر ما ارتكب من البدعة ، والحب على ما بقي عليه من السنة ، فهذا تكليف بما لا يُطاق، وكل ّ يؤخذ من قوله ويردّ.
وإن قال هذا القول رجل من أئمة الإسلام ، وشأن أقواله شأن أقوال أئمة السنة، ما كان من حق ّ قبلناه، ورفعناه على رءوسنا ، وما كان من خطأ فهذا مردود ، كل يؤخذ من قوله ويردّ إلا رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ..
Menurutku, tidak ada seorangpun manusia yang mampu untuk menggabungkan antara cinta dan benci, lalu membaginya menjadi dua. Benci sesuai dengan kadar kebid’ahannya dan cinta sesuai kadar sunnahnya yang masih tersisa. Ini adalah pembebanan perkara yang tidak dimampui.
Setiap orang boleh diambil dan ditolak perkataannya, meskipun yang berpendapat demikian (mencintai ahlul bid’ah dari satu sisi dan membencinya dari sisi yang lain-pen) adalah seseorang dari para imam Islam. Perkataannya (yaitu Ibnu Taimiyyah-pen) sama dengan perkataan para ulama Islam yang lain, selama itu benar maka kita ambil dan kita angkat di atas kepala kita, adapun jika salah maka ditolak. Semua orang bisa diambil dan ditolak perkataannya kecuali Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
والسلف تعاملوا مع أخطاء الصحابة ، الأخطاء التي تحصل من بعضهم يحترمونهم ويُجلونهم ، ولكن الخطأ لا يأخذونه منهم ، فالعصمة ليست إلا لرسول الله ـ عليه الصلاة والسلام ـ وللأنبياء ـ عليهم الصلاة والسلام ـ فيما يبلغونه، أما غيرهم فليس لهم عصمة من الوقوع في الخطأ..
Para salaf, ketika berinteraksi dengan kesalahan para sahabat –yaitu kesalahan yang ada pada sebagian mereka-, mereka tetap menghormati dan memuliakan mereka. Akan tetapi, kesalahan dari para sahabat tersebut tidak mereka ambil. Ke-ma’shum-an tidak dimiliki kecuali oleh Rasulullah ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan para nabi ‘alaihim ash-Sholâtu was Salâm, yaitu para perkara-perkara yang mereka sampaikan. Adapun selain mereka, maka tidak ada yang ma’shûm (terjaga) dari jatuh kepada kesalahan
لهذا ترى ما أخذوا بشيئ من أقوال عمر و لابشيئ من أقوال عثمان التي فيها نظر، ردوها،شيئ من أقوال عليّ ردوه ، شيئ من كلام ابن عباس ، ومن كلام ابن مسعود ، من كلام الأئمة الكبار بعدهم: من أقوال سعيد بن المسيب ، من أقوال مالك والأوزاعي والثوريّ والشافعي و أحمد وغيرهم. أخذوا من كلامهم ما يوافق الحق ، وما يوافق الكتاب والسنة ، وترحموا عليهم ، وترضوا عنهم ، واعتقدوا فيهم أنهم مجتهدون ، وقد يُصيبون وقد يُخطئون. وهذا في المسائل التي يجوز فيها الاجتهاد ، وذلك عند عدم النص من الله ومن رسوله ـ صلى الله عيه وسلم..
Karenanya, engkau melihat para salaf sama sekali tidak mengambil perkataan Umar, demikian juga perkataan Utsman, yang masih ada ketidakjelasan mereka menolaknya. Juga dengan perkataan Ali, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ûd. Demikian pula dengan perkataan para Imam besar setelah para sahabat, seperti Sa’id Ibnul Musayyib, Al-Auzâ’i, Ats-Tsauri, Asy-Syaafi’i, Ahmad, dan selain mereka.
Mereka hanya mengambil perkataan yang sesuai dengan kebenaran, yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dan mereka mendoakan rahmat dan memohon ridho Allah bagi mereka. Mereka meyakini bahwasanya mereka (para sahabat dan para imam) adalah para mujtahid, terkadang benar dan terkadang salah. Dan ini hanya terjadi pada permasalahan-permasalahan yang memang boleh ada ijtihad padanya, yaitu tatkala tidak ada nash dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فالقول بأن نُحبَّه على قدر ما عنده من سنة، ونُبغضه على قدر ما عنده من البدع، هذا الكلام لا يوجد عند السلف .
وقد ناقشنا هذه الفكرة في بعض الكتابات . الرد على أهل الموازنات ، ومن يتعلق بالموازنات، ويتستر بكلام شيخ الإسلام ابن تيمية الذي يرى أن الانسان يُحَبُّ على قدر ما عنده من السنة، ويُبغض على قدر ما عنده من البدع.
ورددنا على هذه الأشياء بكلام السلف ، ومواقفهم ، بل بإجماعهم.
Maka pendapat bahwasanya kita mencintai ahlul bid’ah sesuai kadar sunnah yang ada padanya dan membencinya sesuai kadar bid’ah yang ada padanya, perkataan ini tidak didapati ada pada para salaf. Kami telah mendiskusikan pemikiran ini di sebagian tulisan-tulisan kami yang membantah para pendukung muwazanah dan orang-orang yang terkait, yang mana mereka berlindung dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang memandang bahwa, seseorang dicintai sesuai kadar sunnah yang ada padanya dan dibenci sesuai kadar bid’ah yang ada padanya. Telah kami bantah hal ini dengan perkataan dan mauqif (sikap) para salaf, bahkan dengan ijmâ’ (kesepakatan) mereka”
(lihat di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=129300)
Komentar :
Pertama : Syaikh Rabî’ Al -Madkhalî telah mengakui bahwa manhaj beliau dalam hal ini menyelisihi manhaj Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Beliau mengajak agar tidak bertaqlid kepada Ibnu Taimiyyah, karena Ibnu Taimiyyah bisa salah dan bisa benar.
Kedua : Ternyata Syaikh Rabî’ juga menyelisihi manhaj para ulama Kibâr ahlus sunnah abad ini. Diantaranya :
Pertama : Syaikh Bin Bâz rahimahullâh
Beliau ditanya :
متى تشرع مقاطعة المبتدع؟ ومتى يشرع البغض في الله؟ وهل تشرع المقاطعة في هذا العصر؟
Kapan disyari’atkan memboikot Ahlul Bid’ah? kapan disyari’atkan membenci karena Allah? dan apakah disyari’atkan memboikot/hajr di zaman ini?
Jawaban beliau rahimahullâh :
المؤمن ينظر في هذه المقامات بنظر الإيمان والشرع والتجرد من الهوى، فإذا كان هجره للمبتدع وبعده عنه لا يترتب عليه شر أعظم فإن هجره حق، وأقل أحواله أن يكون سنة، وهكذا هجر من أعلن المعاصي وأظهرها أقل أحواله أنه سنة أما إن كان عدم الهجر أصلح لأنه يرى أن دعوة هؤلاء المبتدعين وإرشادهم إلى السنة وتعليمهم ما أوجب الله عليهم يؤثر فيهم ويزيدهم هدى فلا يعجل في الهجر، ولكن يبغضهم في الله كما يبغض الكافر والعصاة، لكن يكون بغضه للكفار أشد مع دعوتهم إلى الله سبحانه والحرص على هدايتهم عملا بجميع الأدلة الشرعية؛ ويبغض المبتدع على قدر بدعته إن كانت غير مكفرة والعاصي على قدر معصيته، ويحبه في الله على قدر إسلامه وإيمانه،…والخلاصة: أن الأرجح والأولى النظر إلى المصلحة الشرعية في ذلك
“Seorang mukmin dalam kondisi permasalahan seperti ini, hendaknya memandang dengan pandangan iman dan syari’at serta terbebas dari hawa nafsu. Jika praktek hajrnya terhadap mubtadi’ dan sikap menjauhnya darinya tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar maka praktek hajrnya benar, atau sekurang-kurangnya adalah sunnah. Demikian pula menghajr orang yang menampakkan kemaksiatannya, maka minimal praktek hajrnya adalah sunnah. Adapun jika tidak diterapkannya hajr lebih bermaslahat, karena ia memandang bahwa sikap mendakwahi para ahlul bid’ah tersebut dan mengarahkan mereka ke sunnah serta mengajari mereka tentang apa yang diwajibkan Allah terhadap mereka akan memberi pengaruh kepada mereka, maka janganlah ia tergesa-gesa untuk menerapkan hajr. Akan tetapi ia tetap membenci mereka (ahlul bid’ah) sebagaimana ia membenci orang kafir dan para pelaku maksiat. Namun, hendaknya kebenciannya kepada orang-orang kafir lebih keras sembari tetap mendakwahi mereka ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala serta tetap antusias berupaya agar mereka mendapatkan hidayah sebagai bentuk implementasi terhadap seluruh dalil-dalil syari’at. Dan hendaknya ia membenci mubtadi’ sesuai dengan kadar bid’ahnya selama bid’ahnya tidak sampai kepada bid’ah yang mengkafirkan pelakunya- dan (membenci) pelaku maksiat sesuai kadar maksiatnya dengan tetap mencintainya karena Allah sebatas Islamnya dan Imannya…
Kesimpulannya : Yang lebih kuat dan lebih utama adalah perlu memandang kemaslahatan yang syar’i dalam masalah hajr” (Majmû’ Fatâwâ Bin Bâz 9/423)
Sangatlah jelas bahwasanya Syaikh Bin Bâz hanya memandang yang berhak dibenci secara total 100 persen hanyalah orang kafir atau orang yang melakukan bid’ah yang mengkafirkan pelakunya. Adapun jika bid’ahnya tidak sampai mengkafirkan maka pelaku bid’ah itu masih berhak untuk dicintai sebagaimana pelaku maksiat sesuai kadar iman dan islamnya.
Kedua : Syaikh Shalih Al-Fauzân hafizhahullâhu,
Beliau berkata dalam risalah beliau Al-Walâ wa Al-Barô (Loyalitas dan Disloyalitas):
الناسُ في الولاءِ والبراءِ على ثلاثةِ أقسامٍ :
القسمُ الأولُ :منْ يُحَبُ محبةً خالصةً لا معادةَ معها. وهم المؤمنونَ الخُلَّصُ منْ الأنبياءِ والصديقينَ والشهداءِ والصالحينَ….
القسمُ الثانى: منْ يُبغضُ ويُعادَى بُغضاً ومعاداةً خالصيْنِ لا محبةَ ولا موالاةَ معهما. وهم الكفارُ الخُلَّصُ من الكفارِ والمشركينَ والمنافقينَ والمرتدينَ والملحدينَ على اختلافِ أجناسِهمْ ….
القسم الثالث : من يُحَبُ من وجهٍ ويُبغَضُ منْ وجهٍ. فتجتمعُ فيه المحبةُ والعداوةُ وهمْ عصاةُ المؤمنينَ . يُحَبونَ لِمَا فيهمْ منْ الإيمانِ ويُبْغَضونَ لما فيهم منْ المعصيةِ التي هي دونَ الكفرِ والشركِ …ولكنْ لا يُبغضونَ بُغضاً خالصاً ويُتبرأُ منْهم كما تقولُه الخوارجُ في مرتكبِ الكبيرةِ التي هي دونَ الشركِ …
Manusia, dalam permasalahan al-walâ dan al-barô terbagi menjadi 3 kelompok :
Pertama : Orang-orang yang dicintai dengan cinta yang murni tanpa ada permusuhan yang menyertai kecintaan tersebut. Mereka adalah kaum mukminin yang murni keimanan mereka dari kalangan para nabi, para shiddiqîn, para syuhada’ dan para sholihin…
Kedua : Orang-orang yang dibenci dan dimusuhi dengan kebencian dan permusuhan yang murni, tanpa disertai kecintaan dan loyalitas. Mereka adalah orang-orang kafir murni, dari kalangan kafirin, musyrikin, munafiqin, orang-orang murtad, para atheis, dengan berbagai model mereka…
Ketiga : Orang-orang yang dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain. Maka terkumpul padanya kecintaan dan permusuhan, mereka itu adalah para pelaku maksiat dari kaum mukminin. Mereka dicintai karena keimanan yang ada pada mereka, dan mereka dibenci karena kemaksiatan mereka yang di bawah kekufuran dan kesyirikan…
Akan tetapi mereka tidak dibenci dengan kebencian murni dan ber-baro’ dari mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Khowarij tentang pelaku dosa besar yang di bawah kesyirikan…” (Al-Walâ wa Al-Barô hal. 12-14)
Sangat jelas dalam perkataan Syaikh Shalih Fauzân di atas bahwasanya yang hanya dibenci secara total adalah orang-orang kafir dengan segala modelnya. Adapun jika belum sampai kafir dan masih beriman, maka masih berhak untuk mendapatkan kecintaan karena keimanannya. Ini sangat jelas bertentangan dengan perkataan Syaikh Rabî’ bahwasanya ahlul bid’ah harus dibenci 100 persen dan tidak boleh dicintai sama sekali !!!.
Ketiga : Syaikh Rabî’ mengklaim bahwa Ibnu Taimiyyah telah menyelisihi ijmâ’ (kesepakatan) salaf yang membenci ahlul bid’ah secara total. Apakah benar klaim ini??!!.
Sesungguhnya ijmâ’ salaf yang dimaksud oleh Syaikh Rabî’ tidaklah sebagaimana yang beliau sangka. Ijmâ’ (kesepakatan) tersebut adalah berkaitan dengan disyari’atkannya menghajr ahlul bid’ah, yaitu sikap memusuhi ahlul bid’ah dalam hajr (boikot) dan muqotho’ah (isolir). Akan tetapi sikap menghajr ahlul bid’ah tidaklah mengharuskan membenci mereka secara total jika mereka belum kafir dan masih beriman.
Adapun hikayat Ijmâ’ (kesepakatan) oleh Al-Baghowî –sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Rabî’-, maka setelah al-Baghowî menyebutkan hadits tentang kisah dihajrnya Ka’ab bin Malik selama 50 hari oleh Nabi dan para sahabat karena Ka’ab tidak ikut perang Tabuk, beliaupun berkata :
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ هِجْرَانَ أَهْلِ الْبِدَعِ عَلَى التَّأْبِيدِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَافَ عَلَى كَعْبٍ وَأَصْحَابِهِ النِّفَاقَ حِينَ تَخَلَّفُوا عَنِ الْخُرُوجِ مَعَهُ، أَمَرَ بِهِجْرَانِهِمْ، إِلَى أَنْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُمْ، وَعَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرَاءَتَهُمْ، وَقَدْ مَضَتِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَأَتْبَاعُهُمْ، وَعُلَمَاءُ السُّنَّةِ عَلَى هَذَا مُجْمِعِينَ مُتَّفِقِينَ عَلَى مُعَادَاةِ أَهْلِ الْبِدْعَةِ، وَمُهَاجَرَتِهِمْ.
“Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwasanya menghajr ahlul bid’ah untuk selamanya. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam khawatir kemunafikan menimpa Ka’ab dan para sahabatnya tatkala mereka tidak ikut keluar perang bersama beliau, maka Nabi memerintahkan untuk menghajr mereka hingga Allah menurunkan ayat tentang taubat mereka, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui mereka berlepas diri (dari kemunafikan). Telah berlalu para sahabat dan para tabi’in serta para atbaa’ at-Tabi’in juga para ulama sunnah di atas hal ini, mereka semua ijmâ’ (sepakat) untuk memusuhi ahlul bid’ah dan menghajr mereka” (Syarhus Sunnah 1/226-227)
Barang siapa yang membaca hikayat ijmâ’ (kesepakatan) di atas yang disampaikan oleh Al-Baghowî secara lengkap maka dia akan paham bahwasanya ijmâ’ (kesepakatan) ini berkaitan dengan praktek hajr, bukan permasalahan mencintai dalam hati !!!
Perhatikanlah, Al-Baghowî menjadikan dalil tentang ijmâ’ (kesepakatan) memusuhi ahlul bid’ah adalah kisah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang telah menghajr Ka’ab bin Malik dan dua sahabatnya yang tidak ikut perang Tabuk.
Ini semakin membuktikan bahwa :
- Al-Imam Al-Baghowî tidak membedakan antara pelaku bid’ah dan pelaku maksiat dalam praktek hajr. Karena apa yang dilakukan oleh Ka’ab bin Malik adalah kemaksiatan dan bukan bid’ah. Karenanya Ka’ab juga dihajr oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dimusuhi.
- Praktek memusuhi dan memboikot dalam hajr tidaklah mengharuskan hilangnya seluruh kecintaan kepada pelaku maksiat tersebut jika sang pelaku maksiat masih beriman. Sebagai bukti, meskipun Nabi dan para sahabat menampakkan permusuhan kepada Ka’ab bin Malik akan tetapi ternyata mereka menghajr Ka’ab dengan penuh kasih sayang dalam hati mereka. Karenanya tatkala Allah menurunkan ayat menerima taubat Ka’ab maka para sahabatpun dengan begitu gembiranya menyambut Ka’ab.
Selain itu ternyata Al-Imam Al-Baghowî mengkhususkan praktek menghajr dan memusuhi tersebut hanya pada bid’ah yang berkaitan dengan ushûl (pokok-pokok agama), bukan pada permasalahan furû’. Al-Baghowî berkata :
وَهَذَا الْهِجْرَانُ، وَالتَّبَرِّي، وَالْمُعَادَاةُ، فِي أَهْلِ الْبِدَعِ وَالْمُخَالِفِينَ فِي الأُصُولِ، أَمَّا الاخْتِلافُ فِي الْفُرُوعِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ، فَاخْتِلافُ رَحْمَةٍ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي الدِّينِ
“Tindakan hajr ini, berlepas diri (barô), serta sikap memusuhi, adalah terhadap ahlul bid’ah dan penyelisih dalam ushûl. Adapun perselisihan dalam furû’ diantara para ulama, maka ikhtilâf itu merupakan rahmat yang Allah kehendaki, agar tidak ada kesempitan dalam agama bagi orang-orang yang beriman”(Syarhus Sunnah 1/229)
Sekarang coba kita tanyakan kepada saudara-saudara kita (yang gemar mentahdzîr serampangan), kalau memang Radio Rodja melakukan bid’ah, maka apakah bid’ah mereka dalam permasalahan aqidah?? Masuk ranah ushûl agama??!!
Adapun hikayat ijmâ’ (kesepakatan) oleh As-Shôbûnî rahimahullâh, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Syaikh Rabî’- maka Ash-Shôbûnî berkata :
ويبغضون أهل البدع الذين أحدثوا في الدين ما ليس منه، ولا يحبونهم، ولا يصحبونهم، ولا يسمعون كلامهم، ولا يجالسونهم ولا يجادلونهم في الدين ولا يناظرونهم
“Mereka (ahlul hadits) membenci ahlul bid’ah yang telah menciptakan ajaran dalam agama yang bukan dari agama, dan mereka (ahlul hadits) tidak mencintai ahlul bid’ah, tidak berteman dengan mereka, tidak mendengar perkataan mereka, tidak bermajelis dengan mereka, serta tidak berdialog dan berdebat dalam permasalahan agama dengan mereka” (Aqîdatus Salaf Ashhâbil Hadîts hal 298)
Perhatikanlah perkataan As-Shôbûnî rahimahullâh di atas, sangatlah jelas bahwasanya beliau sedang berbicara tentang praktek ahlul hadits yang menghajr ahlul bid’ah.
Sebagaimana telah lalu –tentang sikap hajr yang dilaksanakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya dalam menghajr tentunya menunjukkan sikap membenci dan sikap tidak mencintai sama sekali, karena sedang dalam posisi hajr, dan hal ini tidaklah serta merta melazimkan membenci dalam hati secara total dan tidak ada rasa sayang sama sekali !!!
Tentu menyatakan Ibnu Taimiyyah salah dan menyelisihi ijmâ’ (kesepakatan) salaf bukanlah perkara yang ringan. Terlebih lagi ternyata para ulama Kibâr seperti Syaikh Bin Bâz dan Syaikh Al-Fauzân sejalan dengan manhaj Ibnu Taimiyyah dalam hal ini.
Seseorang hendaknya berhati-hati tatkala menyelisihi seseorang sekelas Ibnu Taimiyyah yang masyhur telah menelaah kitab-kitab para salaf sehingga beliau menjadi patokan dan marja’ (referensi) tatkala beliau menjelaskan aqidah salaf. Karena penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang aqidah salaf –sebagaimana telah diketahui bersama- dibangun di atas penelitian beliau terhadap kitab-kitab salaf, baik kitab-kitab sunnah, kitab-kitab tafsir, dan yang lainnya.
Keempat : Adapun klaim syaikh Rabî’ dalam perkataannya, “Menurutku tidak ada seorang manusia pun yang mampu untuk menggabungkan antara cinta dan benci lalu membaginya menjadi dua, benci sesuai dengan kadar bid’ahnya dan cinta sesuai kadar sunnahnya yang tersisa. Ini adalah pembebanan perkara yang tidak dimampui.”
Maka ini kurang tepat. Bukankah syaikh Rabî’ sepakat dengan Ibnu Taimiyyah dan para ulama Kibâr bahwasanya pembagian cinta dan benci ini berlaku pada pelaku maksiat?? Ataukah syaikh Rabî’ juga memandang harus membenci pelaku maksiat secara total?? saya rasa Syaikh Rabî’ tidak akan berpendapat demikian.
Jika pembagian cinta dan benci ini disepakati oleh Syaikh Rabî’ bisa diterapkan kepada pelaku maksiat dan masuk akal, tentu penerapannya pada pelaku bid’ah juga sangat mungkin untuk dilakukan. Dan ternyata secara kenyataan pun bisa kita terapkan terhadap seorang ahlul bid’ah.
Kelima : Adapun perkataan Syaikh Rabî’, “Maka pendapat bahwasanya kita mencintai ahlul bid’ah sesuai kadar sunnah yang ada padanya dan membencinya sesuai kadar bid’ah yang ada padanya, perkataan ini tidak didapati ada pada para salaf”.
Maka kita katakan :
Pertama : Pernyataan ini hanya sebatas penelitian syaikh Rabî’ saja. Bukankah Ibnu Taimiyyah telah menelaah kitab-kitab yang belum ditelaah oleh Syaikh Rabî’? dan bukankah banyak kitab-kitab salaf yang masih dalam dunia manuskrip?? Sehingga tidak menutup kemungkinan Ibnu Taimiyyah mendapati nukilan-nukilan yang semakna dengan pendapat beliau??
Kedua : Syaikh Rabî’ tentu sepakat bahwasanya untuk para pelaku maksiat, maka berlaku pembagian cinta dan benci –sebagaimana telah lalu-, karena jika tidak sepakat maka akan terjerumus kepada manhaj khawarij yang membenci pelaku dosa besar secara total.
Lantas, darimana Syaikh Rabî mendatangkan nukilan ijmâ’ (kesepakatan) ulama bahwasanya salaf melakukan pembagian cinta dan benci terhadap pelaku maksiat??
Yang ada dari penjelasan para ulama adalah sebaliknya, yaitu memusuhi pelaku maksiat secara total dan tidak ada sama sekali motivasi dari salaf untuk mencintai pelaku kemaksiatan. Bahkan para ulama sering menggandengkan antara menghajr pelaku bid’ah dengan pelaku maksiat, yaitu untuk dijauhi dan dibenci.
At-Qurthûbî berkata :
قَوْلُهُ تَعَالَى: (ضاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِما رَحُبَتْ) …لِأَنَّهُمْ كَانُوا مَهْجُورِينَ لَا يُعَامَلُونَ وَلَا يُكَلَّمُونَ. وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى هِجْرَانِ أَهْلِ الْمَعَاصِي حَتَّى يَتُوبُوا
“Firman Allah : “Bumi menjadi sempit bagi mereka padahal bumi itu luas”…karena mereka dihajr, tidak diajak bermuamalah, dan tidak diajak bicara. Ayat ini merupakan dalil tentang menghajr para pelaku maksiat sampai mereka bertaubat” (Tafsir Al-Qurthûbî 8/287)
Al-Quthubi juga berkata :
قَوْلُهُ تَعَالَى:” وَإِذا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آياتِنا” … وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فِي مَعْنَى الْآيَةِ، وَأَنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى هِجْرَانِ أَهْلِ الْكُفْرِ وَالْمَعَاصِي مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ وَغَيْرِهِمْ، فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ كُفْرٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ، إِذِ الصُّحْبَةُ لَا تَكُونُ إِلَّا عَنْ مَوَدَّةٍ،
“Firman Allah “Dan jika engkau melihat orang-orang memperolok ayat-ayat kami”… dan inilah yang benar dalam makna ayat ini, dan bahwasanya ayat ini menunjukkan tentang menghajr para pelaku kekufuran dan kemaksiatan dari kalangan ahlul bid’ah dan selain mereka. Sesungguhnya bersahabat dengan mereka adalah kekufuran atau kemaksiatan, karena persahabatan tidaklah terjadi kecuali di atas kecintaan” (Tafsir Al-Qurthûbî 9/108)
Al-Qurthûbî menjadikan hajr mubtadi’ sama dengan hajr pelaku maksiat dan selainnya. Semuanya satu pembahasan, harus dibenci dan tidak diajak bersahabat. Bahkan dalam lafal al-Qurthûbî diatas nampak sekali bahwasanya menurut beliau bid’ah adalah bagian dari kemaksiatan. (lihat juga perkataan Al-Qurthûbî di Tafsir Al-Qurthûbî 7/12-13)
Al-Ghozâlî berkata :
وطرق السلف قد اختلفت في إظهار البغض مع أهل المعاصي وكلهم اتفقوا على إظهار البغض للظلمة و المبتدعة وكل من عصى الله بمعصية متعدية منه إلى غيره فأما من عصى الله في نفسه فمنهم من نظر بعين الرحمة إلى العصاة كلهم ومنهم من شدد الإنكار واختار المهاجرة فقد كان أحمد بن حنبل يهجر الأكابر في أدنى كلمة حتى هجر يحيى بن معين لقوله إني لا أسأل أحدا شيئا ولو حمل السلطان إلي شيئا لأخذته
“Dan metode-metode para salaf berbeda-beda dalam menunjukkan kebencian kepada pelaku kemaksiatan. Dan semuanya sepakat dalam menunjukkan kebencian kepada orang-orang yang zhalim dan ahlul bid’ah serta semua orang yang bermaksiat kepada Allah dengan kemaksiatan yang menular kepada orang lain. Adapun orang yang bermaksiat kepada Allah pada dirinya sendiri, maka diantara salaf ada yang memandangnya dengan pandangan kasih sayang kepada para seluruh pelaku maksiat. Ada diantara para salaf yang keras pengingkarannya dan memilih untuk menghajr. Imam Ahmad bin Hanbal telah menghajr/memboikot orang-orang besar dikarenakan sedikit perkataan, sampai-sampai beliau menghajr Yahya bin Ma’in hanya karena Yahya bin Ma’in berkata : Aku tidak akan meminta sesuatupun kepada seorangpun, dan kalau Sultan membawa sesuatu untukku maka akan aku ambil” (Ihyâ Ulûm Ad-Dîn 3/47)
Ibnu Abdil Barr berkata –setelah menyebutkan kisah Nabi menghajr Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu-:
وهذا أصل عند العلماء في مجانبة من ابتدع وهجرته وقطع الكلام معه، وقد حلف ابن مسعود رضي الله عنه أن لا يكلم رجلًا رآه يضحك في جنازة
“Kisah ini adalah asal (dalil) menurut ulama tentang menjauhi orang yang melakukan bid’ah dan menghajrnya, serta tidak berbicara dengannya. Ibnu Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu telah bersumpah untuk tidak berbicara dengan seseorang yang tertawa tatkala melayat jenazah” (At-Tamhîd 4/87, lalu Ibnu Abdil Barr menyebutkan atsar Ibnu Mas’ûd tersebut dengan sanad beliau)
Lihatlah Ibnu Abdil Barr menjadikan kisah Ka’ab bin Malik yang dihajr oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya sebagai dalil untuk menghajr dan tidak berbicara dengan mubtadi’. Padahal Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu bukanlah pelaku bid’ah akan tetapi jatuh kepada kemaksiatan. Ini menunjukkan bahwa para ulama menjadikan hajr pelaku maksiat dan hajr pelaku bid’ah dalam satu bab/pembahasan, dan sama-sama menunjukkan kebencian kepada keduanya.
Lebih jelas lagi, setelah Ibnu Abdil Barr menyebutkan tentang disyari’atkannya menghajr mubtadi’, beliau menyebutkan contoh praktek salaf akan hal ini. Ternyata contoh yang disebutkan adalah Ibnu Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu yang menghajr orang yang ketawa tatkala penyelenggaraan janazah. Padahal orang yang ketawa tersebut bukanlah pelaku bid’ah akan tetapi pelaku maksiat !!
Dari sini kita pahami ternyata pemahaman para ulama baik Ibnu Abdil Barr, Al-Qurthûbî, Al-Ghozâlî, Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bâz, dan Syaikh Shalih Al-Fauzân terhadap atsar-atsar salaf tentang hajr, mereka memandang antara hajr mubtadi’ dan hajr pelaku maksiat dalam satu bab/pembahasan, sama-sama menampakkan kebencian dan permusuhan karena posisinya dalam posisi hajr.
Hanya Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî saja –sepanjang pengetahuan saya- yang memahami hajr dengan kebencian hanya berlaku pada mubtadi’ tanpa ada rasa cinta sama sekali. Adapun kepada pelaku maksiat bisa ada cinta??
Adakah ulama sebelum syaikh Rabî’ yang memahami atsar salaf seperti pemahaman syaikh Rabî’??.
Ketujuh : Kalaupun tidak ditemukan pernyataan salaf dalam hal ini –sebagaimana yang dipahami oleh syaikh Rabî’-, maka yang terbaik adalah membawa perkataan salaf sesuai dengan dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah.
Bukankah terlalu banyak dalil yang menunjukkan adanya sikap cinta kepada kaum mukminin??. Bukankah pelaku bid’ah –selain bid’ah yang mengkafirkan pelakunya- masih termasuk orang mukmin –meskipun kurang imannya-??
Lantas mau dikemanakan dalil-dalil yang begitu banyak baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang mencintai sesama muslim, mencintai sesama mukmin?? Karenanya para ulama menjama’ (mengkompromikan) dalil-dalil yang menganjurkan mencintai sesama muslim dengan dalil-dalil yang menunjukkan kebencian terhadap pelaku maksiat/bid’ah.
Maka jadilah kaidah yang telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para ulama Kibâr bahwa : “Selama seseorang masih muslim -meskipun terjerumus dalam maksiat dan bid’ah yang bukan bid’ah yang mengkafirkan- maka orang tersebut masih punya hak untuk dicintai berdasarkan kadar islam dan keimanannya”.
Kedelapan : Kelaziman dari manhaj yang keras ini, berarti terlalu banyak orang yang harus kita benci secara total, diantaranya banyak dari keluarga kita !!. Bukankah masih banyak keluarga dekat para ikhwah yang gemar mentahdzîr tersebut yang belum salafy?? Bahkan bisa jadi ayah dan ibu mereka belum salafy?? Sehingga seharusnya tidak boleh dicintai sedikitpun tapi harus dibenci secara total !!. Mampukah para pengikut Syaikh Robi’ menerapkan manhaj ini kepada keluarganya?!
Kesembilan : Pada akhirnya, manhaj yang mengharuskan membenci ahlul bid’ah (yang masih muslim) 100% ini adalah sama dengan manhaj yang mengharuskan membenci pelaku maksiat (yang masih muslim) 100%…, dan ini adalah manhajnya khawarij sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Allahul Musta’ân.
KEDUA ; Menurut Syaikh Rabî’ Menghajr Ahlul Bid’ah Tidak Perlu Memandang Kemaslahatan
Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî ditanya
هل هجر اهل البدع والتضييق عليهم وعدم مخالطتهم باطلاق كما نقل السلف ودوّن الائمة في كتبهم ؟ ام هو على التفصيل وينظر كل شخص الى المصلحة والمفسدة وكل يرجع الى عقله مما يؤدي الى التمييع؟
Apakah menghajr Ahlul bid’ah dan menyempitkan (ruang gerak) mereka serta tidak bercampur dengan mereka adalah secara mutlak –sebagaimana dinukil oleh para salaf dan sebagaimana yang ditulis oleh para imam di buku-buku mereka?, ataukah praktek hajr sesuai perincian, dan masing-masing orang melihat kemaslahatan dan kemadhorotan, dan setiap orang kembali ke akalnya yang akhirnya mengantarkan kepada sikap mumayyi’ (lunak)?”
Syaikh Rabî’ menjawab :
لقد قال شيخ الاسلام رحمه الله ينظر الى المصلحة فيها ، والسلف ما قالوا هذا وشيخ الاسلام جزاه الله خيرا قال هذا وهو اجتهاد منه فاذا اخذنا بقوله ، فمن هو الذي يميز المصالح من المفاسد ؟ فهل الشباب وصلوا الى هذا المستوى ؟ الشباب اذا راع المصلحة فليبدأ بمراعات مصلحة نفسه وليحافظ ما عنده من الخير ويتبع منهج السلف ولا يعرض عقيدته ومنهجه للضياع كما حصل لكثير من الشباب الذين تلاعب بهم الاخوان المسلمون والقطبيون واهل البدع وقالوا نرعى المصالح والمفاسد ثم كل هذه الامور تهدر ولا يوجد عندهم مراعاة المصالح والمفاسد ، وعلى راس المصالح الذي يجب مراعاتها المحافظة على الشباب من ان يتخطفهم اهل البدع بشبهاتهم.
“Sungguh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rahimahullâh telah berpendapat perlunya menimbang kemasalahatan di dalamnya sedangkan para salaf tidak berpendapat seperti ini. Dan Syaikhul Islam –semoga Allah membalas kebaikan baginya- berpendapat demikian, dan ini adalah ijtihad dari beliau. Jika kita mengambil pendapatnya, maka siapakah yang mampu membedakan kemaslahatan dari kemudhorotan?. Apakah para pemuda sudah sampai pada tingkatan ini?.
Para pemuda jika hendak memperhatikan kemaslahatan maka hendaknya mereka memperhatikan kemaslahatan diri mereka dulu dan hendaknya mereka mempertahankan kebaikan yang ada pada mereka serta mengikuti manhaj salaf, dan janganlah ia menghantarkan aqidahnya dan manhajnya pada terlepasnya (manhaj dan aqidahnya) sebagaimana yang banyak terjadi pada banyak pemuda yang dipermainkan oleh Ikhwanul Muslimin, Quthbiyin, dan ahlul bid’ah. Ada diantara mereka berkata : “Kami memperhatikan kemaslahatan dan kemudhorotan”, lalu semua perkara ini jadinya terbuang dan tidak ada lagi di sisi mereka pertimbangan kemasalahatan dan kemudhorotan. Dan puncak dari kemaslahatan yang wajib untuk diperhatikan adalah menjaga para pemuda agar tidak terbawa oleh ahlul bid’ah dengan syubhat-syubhat mereka.
فالشاب الناشئ عليه ان لا يخالط اهل البدع وان يحافظ على عقيدته والعالم الناصح له ان يدعو هؤلاء وان ينصحهم وان يبين لهم الحق ويقيم عليهم الحجة ليرجعوا الى دين الله الحق ، واما الجاهل الذي قد يتعرض للضياع فيقذفون بالشبهة عليه فيتغير قلبه ويزيغ ثم يرتمى في احضانهم وقد عرفنا هذا من كثير وكثير ممن كانوا مساكين بادئين بالسير في الطريق السلف فاعترضهم هؤلاء بشباكهم فاجتاحوهم واجتالوهم عن منهج السلف الصالح والعاقل من اعتبر بغيره فلناخذ عبرة من هؤلاء
Pemuda yang tumbuh di lingkungannya, hendaknya ia tidak bercampur dengan ahlul bid’ah dan menjaga aqidahnya. Adapun orang alim yang ahli memberikan nasehat, maka boleh baginya untuk mendakwahi ahlul bid’ah dan menasehati mereka, menjelaskan kebenaran bagi mereka, dan menegakan hujjah agar mereka kembali kepada agama Allah.
Adapun orang jahil yang mudah terombang-ambing pada kesesatan, maka mereka (ahlul bid’ah) akan mudah melemparkan syubhat kepadanya lalu berubahlah hatinya kemudian menyimpang, setelah itu terlempar dalam pelukan ahli bid’ah. Sungguh kami telah mengetahui ini dari begitu banyak orang-orang yang patut dikasihani, orang-orang yang baru mulai menempuh manhaj salaf lalu merekapun dihadang oleh para ahlul bid’ah dengan jaring-jaring mereka hingga akhirnya menyimpangkan mereka dari manhaj salaf. Orang yang berakal mengambil pelajaran dari orang lain, hendaknya kita mengambil pelajaran dari mereka.”
بارك الله فيك ياشيخ اذا الواجب علينا ان نعمل بقول السلف وليس بقول شيخ الاسلام ابن تيمية رحمه الله خاصة في زماننا هذا الذي صار فيه الجلوس لاهل البدع شعارا للعلم والله المستعان ؟
Penanya : Semoga Allah memberkahi Anda ya Syaikh, jika demikian yang wajib bagi kita adalah mengamalkan pendapat para salaf dan bukan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh, -terutama di zaman kita sekarang ini yang bermajelis dengan ahlul bid’ah merupakan syi’arnya ilmu, Allahul musta’ân-“?
Syaikh menjawab :
الذي يقوله السلف هو الاحوط بالتجربة ووالواقع ، والمصلحة والمفسدة اذا ادركها العالم فليستخدمها، اما الصغير ما يستطيع اذا ادركها العالم المحصن لا بعض العلماء قد يكون ضعيف الشخصية فتخطفه البدع كما حصل لعدد لكثير من الاكابر خطفتهم البدع بسهولة فهناك صنفان من العلماء عالم تاكد من نفسه أن عنده قوة حجة وقوة شخصية وانه يستطيع ان يؤثر في اهل البدع ولا يؤثرون فيه فهذا يخالطهم على اي اساس ياكل ويشرب ويضحك معهم ؟ لا . يخالطهم للنصيحة ياتي الى مساجدهم الى مدارسهم ياتي الى اسواقهم ويعطيهم الحق ويناظرهم ان كانوا يستطيع المناظرة ويقيم عليهم الحجة. اما الضعيف المسكين من العلماء لا ، وكذلك الشاب الناشئ المعرض للضياع . لا بارك الله فيكم فهذا ما يمكن ان يجمع به ما بين ما يقوله شيخ الاسلام بن تيمية وما يقوله السلف رضي الله عنهم جميعا
“Pendapat salaf lebih hati-hati berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Penentuan kemaslahatan dan kemudhorotan, jika bisa difahami oleh seorang yang alim maka hendaknya ia menggunakannya. Adapun penuntut ilmu pemula tidaklah mampu memahaminya seperti seorang alim yang terbentengi. Bukan, sebagian ulama, terkadang pribadinya lemah sehingga mudah disambar oleh bid’ah sebagaimana yang terjadi pada banyak orang-orang besar, mereka disambar oleh bid’ah-bid’ah dengan begitu mudahnya.
Maka disana ada dua model ulama, seorang alim yang ia yakin dirinya memiliki kemampuan dan hujjah yang kuat, pribadi yang kuat, serta ia mampu untuk mempengaruhi ahlul bid’ah dan dia tidak terpengaruh oleh ahlul bid’ah, maka ia (boleh) bergaul dengan mereka. (Tapi bukan) dengan makan dan minum serta tertawa bersama mereka !!, Lantas atas dasar apa??. Ia bergaul dengan mereka dalam rangka menasehati mereka, yaitu dengan mendatangi mesjid-mesjid mereka, ke sekolah-sekolah mereka, ia memberikan kebenaran kepada mereka, mendebat mereka jika mereka mampu untuk berdebat, serta menegakkan hujjah kepada mereka.
Adapun orang yang lemah miskin dari kalangan ulama, maka tidak boleh. Demikian juga pemuda yang baru tumbuh yang terancam pada kesesatan, maka tidak boleh, semoga Allah memberkahi kalian. Inilah apa yang mungkin untuk mengkompromikan antara pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan pendapat para salaf radhiyallahu ‘anhum”.
(http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=24096)
Komentar :
Pertama : Pernyataan Syaikh Rabî’, “Sungguh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rahimahullâh telah berpendapat perlunya menimbang kemaslahatan di dalamnya sedangkan para salaf tidak berpendapat seperti ini. Dan Syaikhul Islam –semoga Allah membalas kebaikan baginya- berpendapat demikian, dan ini adalah ijtihad dari beliau. Jika kita mengambil pendapatnya, maka siapakah yang mampu membedakan kemaslahatan dari kemudhorotan?. Apakah para pemuda sudah sampai pada tingkatan ini?.”
Sekali lagi, Syaikh Rabî’ menyalahkan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh, dan menganggap pendapat Syaikhul Islam bertentangan dengan pendapat dan manhaj para salaf. Syaikh Rabî’ mengesankan bahwa para salaf tatkala menghajr maka mereka menghajr secara mutlak tanpa memperhitungkan kemaslahatan. Namun apakah benar para salaf demikian??
Kedua : Pernyataan Syaikh Rabî’ bahwa penerapan hajr tidak perlu mempertimbangkan kemaslahatan ternyata menyelisihi pendapat para ulama Kibâr, yaitu…
Pertama : Syaikh Bin Bâz rahimahullâh
Beliau berkata : “Seorang mukmin dalam kondisi permasalahan seperti ini hendaknya memandang dengan pandangan iman dan syari’at serta terbebas dari hawa nafsu. Jika praktek hajrnya terhadap mubtadi’ dan sikap menjauhnya darinya tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar maka praktek hajrnya benar, dan minimal sunnah. Dan demikian pula menghajr orang yang menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan, maka minimal praktek hajrnya adalah sunnah. Adapun jika tidak diterapkannya hajr lebih maslahat –karena ia memandang bahwa sikap mendakwahi para ahlul bid’ah tersebut dan mengarahkan mereka ke sunnah, mengajari mereka tentang apa yang diwajibkan Allah terhadap mereka, akan memberi pengaruh kepada mereka- maka janganlah ia tergesa-gesa untuk menghajr…
Kesimpulannya : Yang lebih kuat dan lebih utama adalah memandang kemaslahatan yang syar’i dalam masalah hajr” (Majmû’ Fatâwâa Bin Bâz 9/423)
Kedua : Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullâh.
Beliau berkata, “Kondisi hajr ada tiga:
1. Maslahat lebih kuat dibandingkan kerusakan, maka hajr tersebut dituntut (untuk diterapkan)
2. Atau kerusakan yang lebih kuat, maka penerapan hajr tanpa diragukan lagi adalah dilarang
3. Atau belum dapat ditentukan manakah yang lebih kuat antara kerusakan maupun maslahat, maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam.” (HR Al-Bukhari (V/2302) (5879) dan Muslim (IV/1984) (2560), adapun perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majmû’ Fatâwâ Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn (III/17) soal no (385). Selain karena keumuman hadits tersebut, juga karena hukum asal dalam dakwah adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Salaf.)
Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwa hajr itu seperti obat, jika memberikan faedah maka gunakanlah. Adapun jika semakin menambah penyakit maka jangan digunakan…. Jika engkau menghajr-nya tetapi ia justru semakin menjadi-jadi dan membencimu… maka janganlah engkau meng-hajr-nya” (Liqâ’ al-Bâb al-Maftûh, no (200).
Beliau juga berkata berkata, “Ahli bid’ah, jika ia menyeru kepada bid’ahnya dan ada maslahat dengan meng-hajr-nya, maka janganlah disalami. Namun jika tidak ada maslahat dengan meng-hajr-nya maka berilah salam kepadanya.” (Liqâ’ al-Bâb al-Maftûh, no (145).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn berkata, “Pada masa ini, kebanyakan pelaku kemaksiatan, apabila di-hajr justru semakin sombong dan menjadi-jadi dalam kemaksiatan, semakin jauh dari ahli ilmu sekaligus semakin menjauhkan (orang lain) dari ahli ilmu, sehingga penerapan hajr terhadap mereka tidak memberikan faedah bagi mereka, juga bagi selain mereka.” (Majmû’ Fatâwâ (III/11) soal no. (382).
Ketiga ; Syaikh Al-Albânî rahimahullâh
Bahkan Syaikh Al-Albânî memandang tidak bisa diterapkan hajr kepada ahlul bid’ah di zaman ini. Bahkan beliau menyatakan bahwa penerapan hajr sebagaimana para salaf menghajr ahlul bid’ah akan menjadikan dakwah kembali mundur. Ini semua menunjukkan bahwa Syaikh Al-Albânî benar-benar memperhatikan maslahat dalam penerapan hajr kepada Ahlul bid’ah.
Ada sebuah pertanyaan yang pernah dilontarkan kepada Syaikh al-Albânî, “Apakah benar yang kami dengar dari Syaikh bahwa meng-hajr ahli bid’ah pada zaman ini tidak bisa diterapkan?”
Syaikh al-Albânî menjawab, “Penanya ingin mengatakan bahwa apakah praktek hajr tidak layak (tidak maslahat) untuk diterapkan? apakah benar memang demikian?? (Jawabannya adalah benar) praktek hajr memang tidak (layak) diterapkan. Karena sekarang ini para mubtadi’, orang-orang fasiq, dan orang-orang fajir merekalah yang mendominasi….((Silsilah al-Huda wan Nûr, kaset no (666); 7 sya’ban 1413 H))
Pertanyaan lain pernah ditujukan kepada Syaikh al-Albânî, “Wahai Syaikh, engkau memandang tidak bolehnya penerapan hajr terhadap ahli bid’ah, memusuhi mereka, dan tidak berbicara dengan mereka?”
Syaikh al-Albânî menjawab, “Kami tidak memandang bolehnya penerapan hal ini…. Kalau kita sekarang ingin menerapkan manhaj Salaf yang kita warisi dari sebagian ulama kita, dari para Salaf, berupa sikap keras terhadap ahli bid’ah, meng-hajr mereka, memboikot mereka, dan tidak mendengarkan mereka, maka kita akan kembali mundur ke belakang…
Penanya berkata, “Jika demikian, maka tidak boleh meng-hajr mereka (ahli bid’ah)?”
Syaikh al-Albânî rahimahullâh menjawab, “Untuk masa sekarang ini tidak boleh.” (Silsilah al-Huda wan Nûr, kaset no. 611).
Ketiga : Pernyataan Syaikh Rabî’ bahwa para salaf tidak memandang kemaslahatan dalam praktek hajr merupakan kedustaan terhadap salaf. Sehingga tergambarkan para salaf adalah serampangan dan tidak pandang sikon tatkala menghajr.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata
وَجَوَابُ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ فِي هَذَا الْبَابِ مَبْنِيٌّ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ وَلِهَذَا كَانَ يُفَرِّقُ بَيْنَ الْأَمَاكِنِ الَّتِي كَثُرَتْ فِيهَا الْبِدَعُ كَمَا كَثُرَ الْقَدَرُ فِي الْبَصْرَةِ وَالتَّنْجِيمُ بِخُرَاسَانَ وَالتَّشَيُّعُ بِالْكُوفَةِ وَبَيَّنَ مَا لَيْسَ كَذَلِكَ وَيُفَرِّقُ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ الْمُطَاعِينَ وَغَيْرِهِمْ
“Jawaban Imam Ahmad dan para imam yang lain tentang permasalahan hajr dibangun di atas landasan ini (yaitu membandingkan antara mashlahat dan mudharat, pen). Oleh karena itu, Imam Ahmad membedakan (penerapan hajr) di daerah-daerah yang banyak timbul bid’ah –sebagaimana halnya bid’ah qadariyyah dan tanjim (astrologi) di Khurasan, serta bid’ah tasyayyu’ (syi’ah) di Kufah- dengan daerah-daerah yang tidak banyak timbul bid’ah. Beliau juga membedakan antara para gembong bid’ah yang menjadi panutan dengan selain mereka” (Majmû’ Al-Fatâwâ 28/206-207)
Ibnu Taimiyyah juga berkata :
فِي مَسَائِلِ إسْحَاقَ بْنِ مَنْصُورٍ – وَذَكَرَهُ الْخَلَّالُ فِي ” كِتَابِ السُّنَّةِ ” فِي بَابِ مُجَانَبَةِ مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ – عَنْ إسْحَاقَ أَنَّهُ قَالَ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ؟ قَالَ: أَلْحِقْ بِهِ كُلَّ بَلِيَّةٍ. قُلْت: فَيُظْهِرُ الْعَدَاوَةَ لَهُمْ أَمْ يُدَارِيهِمْ؟ قَالَ: أَهْلُ خُرَاسَانَ لَا يَقْوَوْنَ بِهِمْ. وَهَذَا الْجَوَابُ مِنْهُ مَعَ قَوْلِهِ فِي الْقَدَرِيَّةِ: لَوْ تَرَكْنَا الرِّوَايَةَ عَنْ الْقَدَرِيَّةِ لِتَرْكَنَاهَا عَنْ أَكْثَرِ أَهْلِ الْبَصْرَةِ وَمَعَ مَا كَانَ يُعَامِلُهُمْ بِهِ فِي الْمِحْنَةِ: مِنْ الدَّفْعِ بِاَلَّتِي هِيَ أَحْسَنُ وَمُخَاطَبَتِهِمْ بِالْحُجَجِ يُفَسِّرُ مَا فِي كَلَامِهِ وَأَفْعَالِهِ مِنْ هَجْرِهِمْ وَالنَّهْيِ عَنْ مُجَالَسَتِهِمْ وَمُكَالَمَتِهِمْ حَتَّى هَجَرَ فِي زَمَنٍ غَيْرٍ مَا أَعْيَانَ مِنْ الْأَكَابِرِ وَأَمَرَ بِهَجْرِهِمْ لِنَوْعِ مَا مِنْ التَّجَهُّمِ.
“Pasal: Tentang Pertanyaan-Pertanyaan Ishâq bin Manshur (kepada Imam Ahmad). Al-Khallâl menyebutkan pertanyaan tersebut dalam as-Sunnah, bab Mujânabah Man Qâla al-Qur-ân Makhlûq (menjauhi orang yang menyatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk).
Dari Ishaq, ia bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad), “Bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa al-Qur-an itu makhluk?”
Imam Ahmad menjawab, “Berikanlah kepadanya seluruh bala!”
Aku (Ishaq bin Manshur) bertanya lagi, “Apakah ia (seorang Ahlus Sunnah) menampakkan permusuhan kepada mereka (orang-orang yang mengatakan bahwa al-Qur-an itu makhluk, pen) ataukah ia berbuat mudârah?”
Beliau menjawab, “Mereka (Ahlus Sunnah) tidak kuat untuk berhadapan dengan mereka (Jahmiyyah) dari penduduk Khurosan.”
(1) Jawaban Ibnu Taimiyyah ini, demikian juga (2) perkataan Imam Ahma